Pegawai menjadi Infuencer

Salah satu strategi pemasaran yang dianggap ampuh sejak dulu sampai sekarang yaitu word of mouth (WOM). George Silverman dalam bukunya, The Secret of WOM Marketing, komunikasi WOM bisa berupa percakapan atau testimonial seperti berbicara langsung, melalui telepon, email, list group, atau sarana komunikasi lainnya, Strategi pemasaran yang terlihat simpel dan tidak membutuhkan biaya yang besar, namun memiliki tingkat efektif yang cukup besar dan di era internet sekarang ini teknik word of mouth telah mengalami transformasi dalam bentuk influencer.

Istilah influencer mulai hadir ketika pengguna media sosial telah memiliki eksistensi yang kuat dalam menampilkan jati diri secara online. Bukan hanya sekedar memiliki pengikut dalam jumlah yang banyak, influencer memiliki cara unik tersendiri menampilkan kreativitas yang bersifat menghibur dan informatif ke pengikut mereka di masing-masing platform. Influencer memiliki pengaruh di media sosial, mereka tidak hanya disebut selebgram ataupun youtuber tapi bisa saja dari kalangan dokter, atlet, professional, aktivis ataupun pengusaha.

Influencer dapat dikategorikan menurut jumlah followernya, nano influencer dengan followernya di bawah 20 ribu, kemudian micro influencer dengan follower 20 ribu sampai 100 ribu, jika diatas 100 ribu follower masuk kategori macro influencer sementara jika sudah di atas satu atau dua juta follower hitungannya adalah selebriti atau premium influencer. Para influencer membuat konten yang mereka ciptakan atau biasa dikenal User Generated Content dengan cara Pemilihan foto dan kata-kata yang merupakan hal yang vital karena disinilah pesan yang sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh influencer tersebut. Influencer sebagai komunikator ingin menyampaikan pesan yang berupa foto dan caption menarik agar pesan tersebut dapat diterima oleh para pengikutnya dalam hal ini menjadi komunikan. Para influencer tidak menargetkan jumlah postingan yang harus dibuat per harinya, terkait waktu yang tepat untuk postingan biasanya akan dilihat dari info statistik audience atau sekitar jam 12 siang atau 6 sore, karena dianggap waktu tersebut adalah waktu orang membuka media sosial. Pemilihan electronic word of mouth atau caption yang tepat juga sangat berpengaruh terhadap pesan yang ingin disampaikan melalui foto yang diposting.

Sebelumnya public relations banyak bergerak dalam pemanfaatan media massa konvensional, menyebarluaskan pesan melalui press release, media atau press kita, buletin, mengundang wartawan atau media, mengadakan press conference, membuat slot siaran di radio, bekerja sama dengan media televisi dalam hal iklan ataupun program khusus. Dengan kehadiran media sosial dan popularitasnya yang begitu luas, sudah seharusnya organisasi dapat menempatkan media sosial sebagai media yang potensial dan bermanfaat. Organisasi kini menjadi semakin dimungkinkan untuk dapat menjangkau audiens secara efektif lewat media sosial.

Menurut laporan “Indonesia Native Advertising and Influencer Marketing Report 2018” dari GetCRAFT, menyebutkan bahwa kini orang Indonesia lebih banyak mengkonsumsi media sosial dibandingkan dengan TV. jadi tidak mengherankan jika kini banyak organisasi atau perusahaan mulai memaksimalkan reputasi melalui media sosial salah satunya melalui kerja sama dengan influencer. Namun, tidak banyak organisasi yang menggunakan influencer dalam memasarkan produknya adalah ketidaktahuan terkait pemilihan influencer yang tepat dengan segmentasi followernya serta kemungkinan tingginya tarif yang dipatok menjadi pengganjal dalam bekerjasama dengan influencer.

Mengoptimalkan pegawai menjadi influencer menjadi salah satu sumber daya yang berharga dalam branding organisasi. Banyak perusahaan mendorong karyawannya untuk menjadi pemberi pengaruh dan memposting konten tentang tempat kerja mereka, berbagi cerita tentang pekerjaan sehari - hari, memuji tempat kerja dan terutama mempromosikan branding organisasi. Pegawai dianggap sebagai pengirim yang lebih dapat dipercaya dengan suara mereka yang dianggap lebih nyata berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan koneksi mereka. Pegawai pastinya lebih mengerti mendalam tentang organisasinya dibandingkan dengan influencer diluar organisasi, dan suara pegawai juga dianggap lebih otentik mewakili reputasi organisasi, tentu saja kelihaian dari para pegawai dalam menjalankan media sosial akan memainkan peran penting dalam branding organisasi dengan memposting konten yang tepat pada waktu yang tepat juga.